Senin, 09 April 2012

Peritonitis Diet Pasca Bedah (Generalisata e.c Appendicitis Perforata Post Operasi Explorasi Laparatomi)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Appendisitis adalah peradangan dari appendiks vermivormis dan merupakan kegawatdaruratan bedah abdomen yang paling sering ditemukan. Dapat terjadi pada semua umur, hanya jarang dilaporkan pada anak berusia kurang dari 1 tahun. Insiden tertinggi pada usia 20-30 tahun terjadi pada laki-laki dan perempuan sama banyak (Pierce dan Neil, 2007).
Apendisitis dapat mengenai semua umur, baik laki-laki maupun perempuan. Namun lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun. Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan  kebiasaan mengkonsumsi makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit apendisitis. Tinja yang keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian konstipasi akan menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semua ini akan mempermudah timbulnya apendisitis (Syamsuddin, 2009).
Hasil survey di RSSA diperoleh data bahwa selama tahun 2004, jumlah pasien yang menjalani pembedahan adalah sebanyak 5897 pasien, dimana dari 10 penyakit terbanyak di ruang bedah, diketahui bahwa 12,33% adalah penyakit yang membutuhkan bedah digestif. Penanganan diet yang diberikan tergantung dari kondisi pasien serta jenis pembedahan yang akan dijalani (Astri, 2006).
Pembedahan menyebabkan terjadinya gangguan faal organ vital, terjadi juga perubahan metabolisme dan perubahan pada jaringan (Sjamsuhidajat, 1997). Stress merupakan fenomena yang sering dijumpai pada pasien bedah (Sabiston, 1995). Pembedahan dapat menyebabkan anoreksia atau restriksi intake makanan dalam beberapa hari/ minggu, menurunnya status gizi dan kehilangan berat badan. Dalam beberapa kasus, dapat terjadi vomiting, diare dan pendarahan yang dapat menyebabkan kehilangan natrium, klorida, kalium, dan zat besi. Apabila malabsorbsi terjadi dalam jangka waktu yang panjang, pasien dapat kekurangan protein mineral dan vitamin lainnya (Krause, 2004)
Rata-rata 75 % status gizi pasien yang dirawat di RS akan menurun dibandingkan dengan status gizi waktu masuk perawatan. Penurunan ini menyebabkan angka mortalitas naik dan menyebabkan lamanya perawatan di RS (Rahmad Soegih, 1997). Salah satu pasien yang rentan terhadap malnutrisi adalah pasien kasus bedah saluran pencernaan (Toar JM Lalisang, 1997).
Kondisi pasien seringkali semakin memburuk karena tidak diperhatikan keadaan gizinya. Protein Energy Malnutrision (PEM) sering dijumpai pada bangsal-bangsal bedah. Pada masa perwatan yang memanjang akibat komplikasi pasca bedah, PEM telah didokumentasikan pada lebih dari 50% pasien (Hill, Blackert dkk, 1997). Pengaturan makanan setelah operasi perlu diperhatikan karena biasanya setelah menjalani operasi, penderita masih merasakan sakit pada tempat operasi hingga timbul perasaan takut untuk makan karena takut sakit. Biasanya setelah operasi pasien boleh makan makanan cair. Makanan cair dapat berupa susu, tapi tidak boleh terlalu panas. Makanan dalam suhu dingin lebih baik karena dapat mempercepat berhentinya pendarahan. Setelah tahap makanan cair, dapat diberikan makanan dalam bentuk saring bertahap ke makanan lunak dan kembali seperti semasa sehat, sesuai kemampuan pasien menerima makanan (Sita, 2005). Pasien memulai makan jika ada tanda-tanda berupa flatus dan adanya bising usus. Tetapi meskipun belum ada tanda-tanda tersebut, pasien masih diperbolehkan minum sedikit dengan memberikan glukose 5%. Setelah pasien boleh makan, makanan yang diberikan rumah sakit adalah cair rendah sisa. Sebelum mengganti makanan dari cair rendah sisa ke cair biasa, yang dilihat adalah fesesnya. Jika dirasa berangsur-angsur membaik, pasien dapat diberikan diet pasca bedah selanjuynya. Pemberian makanan dengan konsistensi yang berbeda disesuaikan dengan kondisi fisik klinis pasien.

1.2 Gambaran Umum penyakit
Peritonitis adalah suatu proses inflamasi yang bersifat lokal atau menyeluruh (generalisata) pada peritonium (membrane serosa yang melapisi rongga abdomen dan menutupi visera abdomen) yang terjadi akibat penyebaran infeksi dari perforasi saluran cerna. Peritonitis generalisata disebut juga sebagai diffuse peritonitis yang merupakan radang pada pars generalisata peritonium. Peritonitis bisa disebabkan oleh masuknya bakteri dalam rongga peritonium pada saluran makanan yang mengalami perforasi. Penyebab terseringnya dari peritonitis adalah apendisitis. Appendisitis merupakan peradangan pada appendiks vermiformis. Bila telah mengalami kebocoran (perforasi) dan menyebabkan meluasnya proses peradangan di luar appendiks, disebut sebagai appendisitis perforasi.
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering terjadi. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan namun paling sering kita temukan pada laki-laki berusia 10-30 tahun. Apendisitis biasanya disebabkan penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi lumen apendiks menyebabkan bendungan mukus yang diproduksi mukosa. Lama kelamaan, bendungan mukus semakin bertambah banyak dan elastisitas dinding apendiks semakin berkurang sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan tersebut akan menghambat aliran cairan limfe sehingga terjadilah edema, diapedesis bakteri dan ulserasi mukosa. Keadaan ini disebut apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlangsung, tekanan intralumen apendiks semakin meningkat. Akibatnya terjadi obstruksi vena, edema semakin bertambah dan bakteri akan menembus dinding appendiks. Peradangan akan meluas hingga mengenai peritoneum setempat sehingga timbul rasa nyeri di daerah kanan bawah.
                                                          
                                                             BAB III
TINJAUAN PUSTAKA


3.1  Appendisitis
3.1.1      Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendix vermiformis (Pierce dan Neil, 2007). Apendisitis merupakan kasus laparatomi tersering pada anak dan juga pada orang dewasa (Ahmadsyah dan Kartono, 1995). Hampir 7% orang barat mengalami apendisitis dan sekitar 200.000 apendiktomi dilakukan di Amerika Serikat tiap tahunnya. Insidens semakin menurun pada 25 tahun terakhir, namun di negara berkembang justru semakin meningkat, kemungkinan disebabkan perubahan ekonomi dan gaya hidup (Lawrence, 2006).
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering terjadi. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan namun paling sering kita temukan pada laki-laki berusia 10-30 tahun. Apendisitis biasanya disebabkan penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi lumen apendiks menyebabkan bendungan mukus yang diproduksi mukosa. Lama kelamaan, bendungan mukus semakin bertambah banyak dan elastisitas dinding apendiks semakin berkurang sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan tersebut akan menghambat aliran cairan limfe sehingga terjadilah edema, diapedesis bakteri dan ulserasi mukosa. Keadaan ini disebut apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlangsung, tekanan intralumen apendiks semakin meningkat. Akibatnya terjadi obstruksi vena, edema semakin bertambah dan bakteri akan menembus dinding appendiks. Peradangan akan meluas hingga mengenai peritoneum setempat sehingga timbul rasa nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Bila aliran arteri terganggu, akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti oleh terbentuknya ganggren. Keadaan ini disebut apendisitis gangrenosa. Bila dinding apendiks yang rapuh tersebut pecah, terjadi apendisitis perforasi.
3.1.2 Etiologi
1.   Menurut Syamsyuhidayat, 2004 :
·      Fekalit/massa fekal padat karena konsumsi diet rendah serat.
·      Tumor apendiks.
·      Cacing ascaris.
·      Erosi mukosa apendiks karena parasit E. Histolytica.
·      Hiperplasia jaringan limfe.
2.   Menurut Mansjoer , 2000 :
·      Hiperflasia folikel limfoid.
·      Fekalit.
·      Benda asing.
·      Striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya.
·      Neoplasma.
3.   Menurut Markum, 1996 :
·      Fekolit
·      Parasit
·      Hiperplasia limfoid
·      Stenosis fibrosis akibat radang sebelumnya
·      Tumor karsinoid
Penyebab yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya apendisits akut. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Fekalit merupakan penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan roentgen, diet rendah serat, dan cacing usus termasuk ascaris
Penyebabnya hampir selalu akibat obstruksi lumen appendix oleh apendikolit, fekalomas (tinja yang mengeras), parasit (biasanya cacing ascaris), benda asing, karsinoid, jaringan parut, mukus, dan lain-lain (Subanada, dkk, 2007, Price dan Wilson, 2006).
3.1.2     Patofisiologi
Radang usus buntu timbul ketika usus buntu tersumbat oleh benda keras di dalam tinja atau bengkaknya cabang kelenjar getah bening pada usus yang dapat terjadi oleh karena berbagai macam infeksi. Pada kasus yang sama, usus buntu bengkak, dan kuman dapat berkembang di dalamnya. Jarang, benda asing dan cacing juga dapat menyebabkan radang usus buntu. Jika radang usus buntu tidak dapat dikenali atau diobati, usus buntu bisa pecah, membuat kantung meradang di luar usus tersebut (abscess) atau keluarnya isi dari usus buntu dan masuk ke rongga perut, menyebabkan peradangan yang serius (peritonitis). Pada Sekitar 25 % anak-anak dengan radang usus buntu, usus buntunya sudah pecah ketika dalam perjalanan menuju rumah sakit. (Anonymous, 2009).
Appendiks vermiformis merupakan sisa apeks sekum yang belum diketahui fungsinya pada manusia. Struktur ini berupa tabung yang panjang, sempit (sekitar 6- 9 cm), dan mengandung arteria apendikularis yang merupakn suatu arteria terminalis. Patogenesis utamanya karena adanya obstruksi lumen, yang biasanya disebabkan oleh fekalit (feses keras yang terutama disebabkan oleh serat. Penyumbatan pengeluaran secret mucus mengakibatkan terjadinya pembengkakan, infeksi dan ulserasi. Bila keadaan ini dibiarkan berlangsung terus biasanya mengakibatkan nekrosis, gangrene dan perforasi.
Tahapan Peradangan Apendisitis :
·      Apendisitis akuta (sederhana, tanpa perforasi)
·      Apendisitis akuta perforate ( termasuk apendisitis gangrenosa, karena dinding apendiks sebenarnya sudah terjadi mikroperforasi)
1)  Simple appendicitis acuta non obstruktif:
Biasanya yang mula-mula terserang oleh bakteri adalah mukosa (Catarrhal Appendicitis) →menyebar keluar →dinding appendix menjadi udem dan pembuluh darah vasodilatasi (merah) →hemoragik infarks → nekrosis kecil-kecil (ganggren) →ulkus kecil-kecil → serosa terkena (serosa appendiks = serosa peritoneum) →memberikan reaksi untuk mengeluarkan fibrin eksudat yang putih → omentum begerak menuju appendix untuk melokalisir/radang.
Jika sembuh, jaringan appendix diganti dengan jaringan ikat sehingga dapat menimbulkan obstruksi. Ini akan menimbulkan CHRONIC APPENDICITIS atau APPENDICITICIS ACUTA lagi.
2)  Gejala appendicitis acuta dengan peritonitis generalisata:
Pasien tampak payah, sakit berat (toksis), perforasi menjalar ke seluruh abdomen, perut nyeri dan tegang di seluruh abdomen walaupun punctum maximum mungki di sebelah kanan, nyeri dan febris tinggi, kedaan umum jelek. Karena fungsiolesa maka fungsi usus terhenti (tidak berkontraksi) sehingga terjadi pembentukkan gas  perut kembung  paralitik ileus  muntah-muntah (regurgitasi)

3.1.3      Diagnosa
Beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding (Pierce dan Neil, 2007):
-          Limfadenitis mesenterica terutama pada anak-anak.
-          Penyakit pelvis pada wanita : inflamasi pelvis, ISK, kehamilan ektopik, ruptur kista korpus luteum, endometriosis externa.
-          Lebih jarang : penyakit Crohn, kolesistitis, perforasi ulkus duodenum, pneumonia kanan bawah.
-          Jarang : perforasi karsinoma caecum, diverkulitis sigmoid
Diagnosis ditegakkan bila memenuhi (Pierce dan Neil, 2007):
-          Gambaran klinis yang mengarah ke appendisitis.
-          Laboratorium : lekositosis ringan, lekosit > 13.000 /dl biasanya pada perforasi, terdapat pergeseran ke kiri (netrofil segmen meningkat).
-          USG untuk massa appendix dan jika masih ada keraguan untuk menyingkirkan kelainan pelvis lainnya.
-          Laporoskopi biasanya digunakan untuk menyingkirkan kelainan ovarium sebelum dilakukan apendiktomi pada wanita muda.
-          CT scan pada usia lanjut atau dimana penyebab lain masih mungkin.
3.1.4   Gambaran Klinis
Pada kasus apendisitis akut, gejala awal adalah nyeri atau rasa tidak enak di sekitar umbilicus. Gejala ini umumnya berlangsung lebih dari 1 atau 2 hari. Dalam beberapa jam nyeri bergeser ke kuadran kanan bawah dengan disertai anoreksia, mual dan muntah. Apabila terjadi rupture appendiks, tanda perforasi dapat berupa nyeri, nyeri tekan, dan spasme. Penyakit ini sering disertai oleh hilangnya nyeri secara dramatis untuk sementara.
Gambaran klinik apendisitis akut :
a. Tanda awal
·      nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus disertai mual dan anoreksi
b. Nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik McBurney
·      nyeri tekan
·      nyeri lepas
·      defans muskuler
c. Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
·      nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
·      nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
·      nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk, mengedan.
Menurut Betz, Cecily, 2000 :
·      Sakit, kram di daerah periumbilikus menjalar ke kuadran kanan bawah
·      Anoreksia
·      Mual
·      Muntah,(tanda awal yang umum, kuramg umum pada anak yang lebih besar).
·      Demam ringan di awal penyakit dapat naik tajam pada peritonotis.
·      Nyeri lepas.
·      Bising usus menurun atau tidak ada sama sekali.
·      Konstipasi.
·      Diare.
·      Disuria.
·      Iritabilitas.
·      Gejala berkembang cepat, kondisi dapat didiagnosis dalam 4 sampai 6 jam setelah munculnya gejala pertama.
3.1.5 Pemeriksaan
Pemeriksaan menurut Betz (2002), Catzel(1995), Hartman(1994), antara lain :
a. Anamnesa
Gejala apendisitis ditegakkan dengan anamnese, ada 4 hal yang penting adalah :
·      Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah.
·      Muntah oleh karena nyeri viseral.
·      Panas (karena kuman yang menetap di dinding usus).
·      Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit, menghindarkan pergerakan, di perut terasa nyeri.
b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada foto tidak dapat menolong untuk menegakkan diagnosa apendisitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi kadang kala dapat ditemukan gambaran sebagai berikut: Adanya sedikit fluid level disebabkan karena adanya udara dan cairan. Kadang ada fecolit (sumbatan). pada keadaan perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam diafragma.

c. Laboratorium
Pemeriksaan darah : lekosit ringan umumnya pada apendisitis sederhana lebih dari 13000/mm3 umumnya pada apendisitis perforasi. Tidak adanya lekositosis tidak menyingkirkan apendisitis. Hitung jenis: terdapat pergeseran ke kiri. Pemeriksaan urin : sediment dapat normal atau terdapat lekosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika. Pemeriksaan laboratorium Leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme. Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi lekositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat. Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal.
3.1.6  Pengobatan
Pengobatan yang paling baik untuk penyakit usus buntu adalah operasi pengangkatan usus buntu yang bengkak (appendectomy). Operasi pengangkatan usus buntu (appendectomy) biasanya sederhana dan tidak berbahaya, untuk kasus yang berat diharuskan di rawat di rumah sakit selama 2 sampai 3 hari. Bila usus buntu pecah, dokter melakukan pengangkatan dan kemungkinan membersihkan perut dengan cairan, memberi antibiotik untuk beberapa hari, dan memantau kemungkinan komplikasi, seperti infeksi dan masalah pada organ perut. Sekitar 10 sampai 20 % kasus ahli bedah menemukan usus buntu yang normal ketika melakukan appendectomy. (Anonymous, 2009).
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendiktomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang baik. Penundaan tindak bedah sambil pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Apendiktomi bisa dilakukan secara terbuka atau pun dengan cara laporoskopi. Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata (Syamsuhidajat, 1997).

3.1.7. Komplikasi
Beberpa komplikasi yang dapat terjadi :
1)    Perforasi
Keterlambatan penanganan merupakan alasan penting terjadinya perforasi. Perforasi appendix akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut, peristaltik usus menurun sampai menghilang karena ileus paralitik (Syamsuhidajat, 1997).
2)    Peritonitis
Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari apendisitis. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan begitu, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oligouria, dan mungkin syok. Gejala : demam, lekositosis, nyeri abdomen, muntah, Abdomen tegang, kaku, nyeri tekan, dan bunyi usus menghilang (Price dan Wilson, 2006).
3)    Massa Periapendikuler
Hal ini terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi pendindingan oleh omentum. Umumnya massa apendix terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis generalisata. Massa apendix dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan keadaan umum masih terlihat sakit, suhu masih tinggi, terdapat tanda-tanda peritonitis, lekositosis, dan pergeseran ke kiri. Massa apendix dengan proses meradang telah mereda ditandai dengan keadaan umum telah membaik, suhu tidak tinggi lagi, tidak ada tanda peritonitis, teraba massa berbatas tegas dengan nyeri tekan ringan, lekosit dan netrofil normal (Ahmadsyah dan Kartono, 1995).
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :
·    Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh
·      Suhu tubuh naik tinggi sekali.
·      Nadi semakin cepat.
·      Defance Muskular yang menyeluruh
·      Bising usus berkurang
·      Perut distended
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.
3.1.8 Prognosa
Dengan diagnosis dan pembedahan yang cepat, tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil. Angka kematian lebih tinggi pada anak dan orang tua. Apabila appendiks tidak diangkat, dapat terjadi serangan berulang.

3.2 Peritonitis
3.2.1  Definisi
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen (Mulyana, 2007)
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum-lapisan membrane serosa membran serosa rongga abdomen dan meliputi visera. Biasanya, akibat dari infeksi bakteri, organisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal atau, pada wanita, dari organ reproduktif internal.. Bakteri paling umum yang terlibat adalah E.coli, Klebsiella, Proteus, dan Pseudomonas . Inflamasi dan ileus paralitik adalah efek langsung dari infeksi. Penyebab umum lain dari peritonitis adalah appendisitis, ulkus perforasi, divertikulitis, dan perforasi usus. Peritonotis juga dapat dihubungkan dengan proses bedah abdominal dan dialisis peritoneal.
Peritonitis adalah suatu proses inflamasi yang bersifat lokal atau menyeluruh (generalisata) pada peritoneum (membran serosa yang melapisi rongga abdomen dan menutupi visera abdomen) yang terjadi akibat penyebaran infeksi dari perforasi saluran cerna. Peritonitis generalisata disebut juga sebagai diffuse peritonitis yang merupakan radang pada pars generalisata peritoneum. Peritonitis bisa disebabkan oleh masuknya bakteri dalam rongga peritoneum pada saluran makanan yang mengalami perforasi. Penyebab terseringnya dari peritonitis adalah apendisitis. Appendisitis merupakan peradangan pada appendiks vermiformis. Bila telah mengalami kebocoran (perforasi) dan menyebabkan meluasnya proses peradangan di luar appendiks, disebut sebagai appendisitis perforasi.
Prinsip umum terapi peritonitis adalah penggantian cairan dan elektrolit secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (pada kasus ini adalah apendiks vermiformis) atau penyebab radang lainnya dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Hampir semua penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi). Pertimbangan dilakukan pembedahan antara lain :
1.    Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri tekan terutama jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda perdarahan (syok, anemia progresif), tanda sepsis (panas tinggi, leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi, memburuknya pasien saat ditangani).
2.    Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi usus, extravasasi bahan kontras, tumor, dan oklusi vena atau arteri mesenterika.
3.    Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan perdarahan saluran cerna yang tidak teratasi.
4.    Pemeriksaan laboratorium. Terapi bedah bertujuan untuk mengeliminasi sumber infeksi, mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal dan pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan. 
Peritonitis generalisata adalah peradangan pada rongga perut biasanya disebabkan karena bocornya/lubangnya suatu organ (kalau pada kasus yang memerlukan pembedahan).

Dalam istilah peritonitis meliputi kumpulan tanda dan gejala, di antaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muskular, dan tanda-tanda umum inflamasi. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau penyakit berat dan sistemik dengan syok sepsis. Peritoneum bereaksi terhadap stimulus patologik dengan respon inflamasi bervariasi, tergantung penyakit yang mendasarinya (Mansjoer, 2000).
3.2.2   Etiologi
Bila ditinjau dari penyebabnya, infeksi peritonitis terbagi atas penyebab primer (peritonitis spontan), sekunder (berkaitan dengan proses patologis pada organ viseral), atau penyebab tersier (infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat). Secara umum, infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi peritonitis infektif (umum) dan abses abdomen (lokal).
Infeksi peritonitis relatif sulit ditegakkan dan sangat bergantung dari penyakit yang mendasarinya. Penyebab utama peritonitis ialah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hati yang kronik. Sekitar 10-30% pasien dengan sirosis hepatis yang mengalami asites akan berakhir menjadi SBP. Penyebab lain yang menyebabkan peritonitis sekunder ialah perforasi apendisitis, perforasi ulkus peptikum dan duodenum, perforasi kolon akibat divertikulitis, volvulus, atau kanker, dan strangulasi kolon asendens.
Tabel 3.1 Penyebab peritonitis
Area sumber
Penyebab
Esofagus
Keganasan
Trauma
Iatrogenik
Sindrom Boerhaave
Lambung
Perforasi ulkus peptikum
Keganasan (mis. Adenokarsinoma, limfoma, tumor stroma gastrointestinal)
Trauma
Iatrogenik
Duodenum
Perforasi ulkus peptikum
Trauma (tumpul dan penetrasi)
Iatrogenik
Traktus bilier
Kolesistitis
Perforasi batu dari kandung empedu
Keganasan
Kista duktus koledokus
Trauma
Iatrogenik
Pankreas
Pankreatitis (mis. Alkohol, obat-obatan, batu empedu)
Trauma
Iatrogenik
Kolon asendens
Iskemia kolon
Hernia inkarserata
Obstruksi loop
Penyakit Crohn
Keganasan
Divertikulum Meckel
Trauma
Kolon desendens dan apendiks
Iskemia kolon
Divertikulitis
Keganasan
Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn
Apendisitis
Volvulus kolon
Trauma
Iatrogenik
Salping uterus dan ovarium
Pelvic inflammatory disease
Keganasan
Trauma
Sebagaimana disebutkan di atas, bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intraabdomen, namun biasanya terjadi pada pasien dengan asites akibat penyakit hati kronik. Akibat asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang-kadang terjadi pula penyebaran hematogen jika telah terjadi bakteremia. Sekitar 10-30% pasien dengan sirosis dan asites akan mengalami komplikasi seperti ini. Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Hal tersebut terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antarmolekul komponen asites.
Sembilan puluh persen kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba. Patogen yang paling sering menyebabkan infeksi ialah bakteri gram negatif, yakni 40% Eschericia coli, 7% Klebsiella pneumoniae, spesies Pseudomonas, Proteus, dan gram negatif lainnya sebesar 20%. Sementara bakteri gram positif, yakni Streptococcus pneumoniae 15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan golongan Staphylococcus sebesar 3%. Pada kurang dari 5% kasus juga ditemukan mikroorganisme anaerob dan dari semua kasus, 10% mengandung infeksi campur beberapa mikroorganisme.
 Sedangkan peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering terjadi, disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal. Spektrum patogen infeksius tergantung penyebab asalnya. Berbeda dengan SBP, peritonitis sekunder lebih banyak disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Pada pasien dengan supresi asam lambung dalam waktu panjang, dapat pula terjadi infeksi gram negatif. Kontaminasi kolon, terutama dari bagian distal, dapat melepaskan ratusan bakteri dan jamur. Umumnya peritonitis akan mengandung polimikroba, mengandung gabungan bakteri aerob dan anaerob yang didominasi organisme gram negatif.
Sebanyak 15% pasien sirosis dengan asites yang sudah mengalami SBP akan mengalami peritonitis sekunder. Tanda dan gejala pasien ini tidak cukup sensitif dan spesifik untuk membedakan dua jenis peritonitis. Anamnesis yang lengkap, penilaian cairan peritoneal, dan pemeriksaan diagnostik tambahan diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan tata laksana yang tepat untuk pasien seperti ini (Mansjoer, 2000).


3.2.3    Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Terbentuk kantong-kantong nanah(abses) diantara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrinosa, yang kelak dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar akan menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan timbulnya peritonitis generalisata, aktivitas peristaltic berkurang sampai timbul ileus paralitik ; usus kemudian menjadi meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, menyebabkan terjadiya dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguuria, dan mungkin syok. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya motilitas usus dan menyebabkan terjadinya obstruksi usus.
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi dari organ abdomen ke dalam rongga abdomen biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma, atau perforasi tumor. Terjadi proliferasi bacterial. Terjadi edema jaringan, dan dalam waktu singkat terjadi eksudasi cairan. Cairan dalam rongga peritoneal menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah putih, debris seluler, dan darah. Respon segera dari saluran usus adalahhipermotilitas, diikuti oleh ileus paralitik, disertai akumulasi udara dan cairan dalam usus.
3.2.4   Gejala Klinis
Manifestasi utama dari peritonitis adalah nyeri abdomen akut dan nyeri tekan. Lokasi nyeri dan nyeri tekan bergantung pada sebab yang mendasari dan apakah proses radangnya bersifat local atau umum. Pada peritonitis local seperti yang dijumpai pada apendisitis tanpa komplikasi atau divertikulitis, kelainan fisisnya hanya ditemukan pada daerah yang mengalami peradangan. Pada radang peritoneum yang menyebar, terdapat peritonitis umum dengan nyeri tekan pada seluruh dinding abdomen dan nyeri pantul(rebound). Ketegangan dinding perut merupakan kelainan yang sering ditemukan pada peritonitis dan dapat local atau umum. Pada awalnya mungkin masih ada peristaltik usus tetapi biasanya akan hilang sejalan dengan berkembangnya penyakit dan suara usus menghilang. Hipotensi, takikardi, oligouria, leukositosis, demam, muntah adalah kelainan-kelainan yang sering ditemukan terutama pada peritonitis umum.
3.2.5   Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium – leukositosis -hematokrit yang meningkat (hemokonsentrasi) -metabolic asidosis
2.   Foto sinar x Adanya dilatasi usus halus dan usus besar. Udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi
3.2.6   Penatalaksanaan
Penggantian cairan, koloid, dan elektrolit adalah fokus utama dari penatalaksanaan medis. Beberapa liter lautan isotonik diberikan. Hipovolemia terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak dari lumen usus ke dalam rongga peritoneal dan menurunkan cairan dalam ruang vaskuler. 
Analgesik diberikan untuk mengatasi nyeri. Antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah. Intubasi usus dan pengisapan membantu dalam menghilangkan distensi abdomen dan dalam meningkatkan fungsi usus. Cairan dalam rongga abdomen dapat menyebabkan tekanan yang membatasi ekspansi paru dan menyebabkan distres pernapasan. Terapi oksigen dengan kanula nasal atau masker akan meningkatkan oksigenasi secara adekuat, tetapi kadang-kadang intubasi jalan napas dan bantuan ventilasi diperlukan.
Terapi antibiotik masif biasanya dimulai di awal pengobatanperitonitis. Dosis besar dari antibiotik spektrum luas diberikan secara intravena sampai organisme penyebab infeksi diidentifikasi dan terapi antibiotik khusus yang tepat dapat dimulai.
Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan memperbaiki penyebab. Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi (apendiks), reseksi dengan atau tanpa anastomosis (usus), memperbaiki (perforasi), dan drainase (abses). Pada sepsis yang luas, perlu dibuat diversi vekal.
3.2.7   Komplikasi
Seringkali, inflamasi tidak local dan seluruh rongga abdomen menjadi terkena pada sepsis umum. Sepsis adalah penyebab umum dari kematian pada peritonitis. Syok dapat diakibatkan dari septicemia atau hipovolemia. Proses inflamasi dapat menyebabkan obstruksi usus, yang terutama berhubungan dengan terjadinya perlekatan usus.
Dua komplikasi pasca operasi paling umum adalah eviserasi luka dan pembentukan abses. Berbagai petunjuk dari pasien tentang area abdomen yang mengalami nyeri tekan, nyeri, atau “merasa seakan sesuatu terbuka” harus dilaporkan. Luka yang tiba-tiba mengeluarkan drainase serosanguinosa menunjukkan adanya dehisens luka.
3.2.8    Intervensi
Pengkajian nyeri secara terus-menerus, tanda-tanda vital, fungsi gastrointestinal, dan keseimbangan cairan dan elektrolit adalah penting. Gambaran sifat nyeri, lokasi di abdomen, dan adanya perpindahan dalam lokasi harus dilaporkan. Pemberian obat analgesik dan menempatkan pasien pada posisi yang nyaman membantu dalam menurunkan nyeri. Pasien harus ditempatkan pada posisi miring dengan lutut fleksi, yang dapat menurunkan tegangan pada organ abdomen.
Pencatatan yang akurat tentang semua asupan dan haluaran serta tekanan vena sentral membantu dalam menghitung penggantian cairan. Cairan intravena harus diberikan dan dipantau dengan ketat.
Tanda-tanda dimana peritonitis mulai pulih mencakup penurunan dalam suhu dan frekuensi nadi, pelunakan abdomen, kembalinya bising usus, keluarnya flatus dan defekasi. Asupan cairan dan makanan akan secara bertahap ditingkatkan dan cairan parenteral dikurangi. Dilain pihak, kondisi klinis yang memburuk dapat menunjukkan komplikasi dan perawat perlu menyiapkan pasien untuk pembedahan darurat.
Drain sering dipasang selama prosedur pembedahan, dan pada pascaoperatif ini penting dimana perawat mengobservasi dan mencatat karakter drainase, perawatan harus diberikan pada saat menggerakkan dan membalik pasien untuk mencegah drain berubah posisi secara tidak disengaja.
3.3 Explorasi Laparatomy
Laparatomy merupakan pembedahan yang menembus dinding abdomen, seperti pada bedah caesar (Webster's Unabridged Dictionary, 1913). Pada pasien yang mengalami nyeri abdominal atau masalah intestinal yang tidak jelas penyebabnya, dan berbagai tes tidak dapat menemukan penyebabnya, maka dilakukanlah Explorasi Laparatomy ini untuk menegakkan diagnosa. Sedangkan pada operasi yang spesifik, laparatomy adalah tindakan pertama dalam proses pembedahan (Markello, 2008).
Berdasarkan letak pembedahannya, tindakan ini dapat mempermudah akses ke organ abdominal atau tempat lain, dan tindakan ini juga merupakan langkah pertama dalam prosedur diagnosa atau bedah terapi pada organ tersebut, antara lain:
- bagian bawah saluran pencernaan (Lambung, duodenum, jejenum, ileum, dan colon)
- Liver, Pankreas, dan Limfa/Lien
- Organ reproduksi wanita (uterus dan ovarium)
- Retroperitonium (Ginjal, Aorta, Nodus Limfa abdominal)
3.4 Diet Pasca Bedah
Diet pasca bedah adalah makanan yang diberikan kepada pasien setelah menjalani pembedahan. Pengaturan makanan sesudah pembedahan tergantung pada macam pembedahan dan jenis penyakit penyerta (Almatsier, 2005)
Menurut Dudrick, Operasi bedah digestif menimbulkan berbagai tingkat stres  yang tergantung dari berbagai faktor, termasuk jenis penyakit yang diderita, lamanya, status gizi sebelum operasi dan penyakit-penyakit penyertanya; stres akan meningkatkan katabolisme tubuh dengan cara glikogenolisis dan glukoneogenesis, sedangkan lipolisis ditekan, sehingga sebagian besar menggunakan sumber protein tubuh untuk energi. Pemberian protein secara dini pada tindakan bedah akan mengurangi katabolisme protein tubuh yang dapat dipantau secara sederhana melalui berkurangnya penurunan berat badan, berkurangnya ekskresi urea dalam urin, dan cepat tercapainya keseimbangan nitrogen positif. Pada stres hebat seperti pada luka bakar telah dilaporkan keberhasilan pemberian dini makanan yang mengandung tinggi protein, sehingga mengurangi morbiditas dan mortalitas (Djalinz, 1992).
Pemberian dini zat gizi yang cukup kalori dan tinggi protein sesuai dengan toleransi penerimaan pasien akan mencegah penghancuran protein tubuh yang berlebihan akibat stres luka bakar sendiri, mengurangi penurunan berat badan yang berlebihan dan merupakan manajemen yang rasional sebelum pasien jatuh dalam sepsis, yang sampai saat ini tingkat kematiannya sangat tinggi (Djalinz, 1992).
3.4.1.Tujuan Diet
Tujuan diet pasca bedah adalah untuk mengupayakan agar status gizi pasien segera kembali normal untuk mempercepat proses penyembuhan dan meningkatkan daya tahan tubuh pasien, dengan cara sebagai berikut :
1.      memberikan kebutuhan dasar (cairan, energi, protein)
2.      mengganti kehilangan protein, glikogen, zat besi, dan zat gizi lain
3.      memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan cairan
3.4.2 Jenis diet dan indikasi pemberian
a.    Makanan pasca bedah I (MPBI)
Diet ini diberian kepada semua pasien pasca bedah.
Pasca bedah kecil : setelah sadar atau rasa mual hilang
Pasca bedah besar : setelah rasa sadar atau mual hilang serta ada tanda-tanda usus mulai bekerja.
Selama 6 jam sesudah pembedahan, makanan yang diberikan berupa air putih, teh manis, air kacang, hijau, sirup, air jeruk manis dan air kaldu jernih. Makanan ini diberikan dalam waktu yang sesingkat mungkin, karena kurang dari semua zat gizi. Makanan diberikan secara bertahap sesuai kemampuan dan kondisi pasien, mulai dari 30 ml/jam.
b.    Makanan pasca bedah II (MPB II)
diberikan pada pasien pasca bedah besar saluran cerna atau sebagai perpindahan dari diet pasca bedah I. Makanan diberikan dalam bentuk cair kental, berupa sari buah, sup, susu, dan puding rata-rata 8-10 kali sehari selama pasien tidak tidur. Jumlah cairan yang diberikan tergantung keadaan dan kondisi pasien. Diet ini diberikan untuk waktu sesingkat mungkin karena zat gizinya kurang.
c.    Makanan pasca bedah III (MPB III)
Diberikan pada pasien pasca bedah besar saluran cerna atau sebagai perpindahan dari diet pasca bedah II. Makanan yang diberikan berupa makanan saring ditambah susu dan biskuit. Cairan hendaknya tidak melebihi 2.000 ml sehari.
d.    Makanan pasca bedah IV (MPB IV)
Diberikan pada :
Pasien pasca bedah kecil, setelah diet pasc abedah I
Pasien pasca bedah besar, setelah diet pasca bedah II
Makanana diberikan berupa makanan lunak yang dibagi dalam 3 kali makanan lengkap dan 1 kali makanan selingan.
Ø  Cara pemesanan makanan : MPB I/II/III/IV
3.4.3. Terapi Cairan dan Elektrolit larutan Parenteral untuk pasien bedah
 Komposisi berbagai cairan intravena yang sering digunakan diperlihatkan pada Table 1. larutan garm isotonik yang baik untuk mengantikan kehilangan gastrointestinal dan memperbaiki deficit sebelunya adalah Ringer laktat atau yang biasa disebut juga larutan Hartmann. Larutan ini mengandung 130 mmol natrium, yang diimbangi oleh 109 mmol klotida dan 28 mmol laktat dan memiliki efek minimal terhadap komposisi cairan tubuh seperti pH bila diinfus dalam jumlah yang besar. Kerugian utama dari Ringer laktat kandungan natriumnya lebih rendah dari plasma. Ini jarnag menimbulkan masalah, seandainya diingat bahwa pada keadaan ekstrem larutan mengisi 100 ml air bebas untuk setiap liter yang diberikan. Larutan-larutan lain yang digunakan pada Tabel 1. digunakan untuk mengoreksi defisif spesifik. Pemilihan cairan tergantung pada status volume pasien dan jenis kelainan konsentrasi atau komposisi yang ada.
Natrium klrorida isotonic (NaCL 0,9% atau normal saline) yang mengandung 154 mmol natrium dan 154 mmol klorida per liter, pada keadaan-keadaan tertentu bisa mengakibatkan kelebihan ion klorida dan asidosis metabolic bisa timbul. Akan tetapi larutan ini ideal untuk koreksi awal dari suatu deficit ECF yang disertai hipokloremia dan alkalosis metabolic. Air dan gula bisa dipasok sebagai dektrosa 5% dalam air atau larutan natrium hipotonik dengan gula yang biasanya diberikan dengan larutan N/5-D4(“seperlima NS atau NaCL 0,18% + Destroksa 4,2%).





































Tidak ada komentar:

Posting Komentar